Indonesia Kiblat Asuransi Syariah Dunia

Asuransi Syariah kini semakin berkembang. Sejak diperkenalkan di Indonesia pada 1994, hingga saat ini jumlah industri asuransi syariah mencapai 39 perusahaan dengan ratusan cabang tersebar di seluruh Indonesia. Kendati demikian, pangsa pasarnya yang masih dibawah lima persen, dipastikan akan terus berkembang di masa depan.

Muhammad Syakir Sula, praktisi sekaligus konsultan asuransi syariah, menjelaskan, melihat pertumbuhannya yang demikian pesat, Indonesia berpotensi menjadi kiblat asuransi syariah dunia. Hal ini dikarenakan dukungan dan potensi yang sangat besar yang dimiliki Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 85 persen lebih umat Islam dari 230 juta jiwa, merupakan pangsa pasar terbesar di dunia bagi industri asuransi syariah.

“Kini, tantangannya adalah meyakinkan umat Islam untuk melek asuransi syariah. Karena, manfaatnya sangat besar bagi kehidupan umat Islam secara keseluruhan bila dibandingkan dengan asuransi konvensional,” kata Ketua Umum IIIS (Internasional Islamic Insurance Society), kepada Syahruddin El Fikri dari Republika.

Berikut petikan wawancara dengan pria kelahiran Palopo, Sulawesi Selatan, 12 Pebruari 1964 ini.

Bisa dijelaskan sejarah munculnya asuransi dalam Islam?

Pratek yang mirip-mirip asuransi itu sudah ada sejak awal Islam. Memang  tidak ada hadis yang secara eksplisit menyebut asuransi, misalnya Nabi bersabda: qola Rasulullah saw at-ta’min halalum (asuransi itu halal, boleh). Itu tidak pernah disebutkan. Tetapi praktek yang mirip-mirip dengan asuransi ada, misalnya sistem aqila seperti yang disebut oleh Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, ketika mengutip hadis Shohih Bukhari, dimana sistem aqilah yang mirip-mirip dengan sistem asuransi itu, disahkan oleh Rasulullah  menjadi bagian dari hukum Islam. Sejak itulah sistem aqilah yang mirip praktek asuransi itu berlaku.

Bagaimanan praktek aqilah tersebut?

Aqilah sebenarnya dipraktekkan oleh masyarakat Arab pada  zaman pra Islam. Ketika itu, apabila ada anggota keluarga yang meninggal dunia dan mempunyai tanggungan, misalnya melakukan pembunuhan, maka anggota keluarga lainnya berkewajiban menanggung dendanya (diyat). Selain dasar tersebut, dasar hukum lainnya yang bisa dijadikan patokan adalah kebutuhan masyarakat di zaman modern.

Hampir semua pekerja, buruh, karyawan, tentara secara otomatis diasuransikan ke Astek, Askes, Jamsostek, dan Asabri. Kalau Anda pegawai negeri, yang mengelola pensiun, dan jaminan kesehatan Anda adalah asuransi dana pensiun dan Askes.

Karena itu, sangat sulit menghindari asuransi. Istilahnya asuransi sekarang sudah menjadi kebutuhan , baik untuk jiwa, kesehatan, harta benda, dan lainnya.

Tapi ada ulama yang memandang, asuransi itu mengandung unsur maisir (judi), gharar (samar), dan riba (berlebih)?

tu benar. Karena itu, para ulama dan pakar syariah berfikir keras mencari solusi,  agar hal-hal yang haram dalam praktek asuransi konvensional itu dihilangkan. Bahkan, dengan melihat  maslahah (kemaslahatan), sebagian ulama kemudian membolehkan asuransi konvensional, khususnya asuransi sosial.   Dan karena waktu dulu belum ada asuransi syariah maka asuransi konvensional dibolehkan, dengan alasan darurat. Dan sekarang karena asuransi syariah sudah makin banyak, tentu saja hukumnya menjadi berbeda.

Sejak kapan muncul istilah asuransi syariah dan mulai dipraktekkan dengan sistem medern seperti sekarang ini termasuk di Indonesia?

Sistem asuransi atau  ad-diyah alal aqilah sudah ada sejak zaman Nabi kemudian turun temurun tetap ada dalam implementasi syariah Islam sampai kepada sistem kekhalifahan yang paling terakhir yaitu kekhalifahan Utsmaniyah di Turki yang diruntuhkan oleh Kemal Attatur pada tahun 1920 an. Setelah itu sistem aqilah hilang ditelan bumi. Kemudian pada Mu’tamar Ekonomi Islam tahun  1976 di Mekah dan Majma’ al-Fiqh al Islami al ‘alami (Kesatuan Ulama Figh Dunia) tahun 1985 memutuskan bahwa asuransi konvensional yang kita kenal selama ini bertentangan dengan syariah alias hukumnya haram, dan merekomendasikan   mendirikan asuransi ta’awuni atau takaful  (Asuransi Syariah).

Merespon  Fatwa ulama tersebut maka pada tahun 1979 pertama kalinya dikenalkan asuransi syariah dalam versi modern yaitu dengan berdirinya  Islamic Insurance di Sudan. Di Indonesia sendiri asuransi syariah pertama, yaitu Asuransi Takaful baru berdiri tahun 1994, kira-kira dua tahun setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI).

Saat ini Indonesia sudah ada 39 Perusahaan asuransi yang beroperasional secara syariah dari 50 perusahaan yang sudah mendapat rekomendasi dari DSN MUI.

Hal-hal apa saja yang bisa diasuransikan menurut Islam?

Secara teori, semua objek asuransi mestinya bisa diasuransikan. Tetapi semakin tinggi resiko suatu objek asuransi, semakin tinggi pula tingkat garar (ketidakjelasan) dan tingkat gambling (judi) nya. Karena itu asuransi syariah  khususnya kerugian sepatutnya menghindari objek asuransi yang high risk (resiko tinggi), karena objek asuransi itu gharar-nya besar dan gambling-nya juga besar. Jadi sebetulnya semua produk-produk asuransi konvensional bisa di “syahadatkan “ ha ha ha…

Sekarang banyak pemain dalam industri Asuransi syariah, baik di Indonesia maupun di dunia. Berapa besar potensi yang seharusnya bisa diserap industri asuransi syariah?

Di dunia sekarang ini kira-kira sudah ada sekitar 200 an asuransi syariah, umumnya mereka menyebut dengan nama asuransi takaful atau islamic insurance. Memang rada aneh juga, cuma Indonesia yang menyebut dengan asuransi syariah. Takaful justru lebih banyak di negara-negara non muslim, seperti Luxemborg, Singapure, Australia, United Kingdom, Sri Langka, USA,  dan sebagainya.

Ke depan asuransi syariah akan menjadi trend asuransi di dunia. Lihat saja negara-negara seperti Singapura, Hongkong dan Inggris dengan Loyyd, ingin menjadi hub sharia business. Mereka berlomba-lomba menarik investor Timur Tengah dengan membuatkan skim-skim syariah, dengan membuatkan regulasi yang memudahkan, termasuk kemudahan dalam aspek perpajakan.

Bandingkan dengan Indonesia yang terkenal dengan pajak gandanya itu. Lucu kan satu-satunya negara di dunia yang mengenakan pajak ganda untuk produk syariah hanya Indonesia. Sudah begitu bangga pula tuh orang-orang pajak.

Dari pangsa pasar, mengapa market share asuransi syariah masih kecil dibandingkan asuransi konvensional?

Karena pemerintah kita belum concerned dengan pengembangan asuransi syariah. Saya tidak melihat keberpihakan pemerintah, kecuali sebatas sebagai regulator saja dalam mengawasi. Mungkin menunggu asuransi konvensional bangkrut dulu karena ditempa krisis seperti AIG di Amerika, atau menunggu ditutup karena terkena negative spread seperti asuransi jiwa terbesar di Jepang,  Kyo Life dan Nippon Life belasan tahun yang lalu, baru kemudian sadar dan ada keberpihakan pada asuransi syariah.

Mereka lupa 80% penduduk negeri ini muslim dan membutuhkan asuransi yang halal. Dan itu tugas pemerintah yang digaji oleh rakyat untuk memberi pelayanan yang terbaik dan diperlukan rakyat.

Jadi, pemerintah harus turut mendorong pertumbuhan asuransi. Seperti Malaysia, masyarakat yang antre membeli  produk asuransi. Begitu juga dengan pemerintahnya, mereka memprioritaskan proyek-proyek agar ke asuransi syariah. Mereka bikin undang-undang Takaful yang disebut ‘Takaful Act” sebelum industri asuransi syariah berdiri.

Di Indonesia asuransi syariah hanya dicantolkan satu dua pasal dalam KMK (Keputusan Menteri Keuangan) dan Peraturan Pemerintah.  Kita usulkan supaya ada undang-undang asuransi menyusul Undang-Undang Perbankan Syariah, tapi pemerintah bilang asuransi masih kecil jadi belum perlu. Jadi cara berfikir pemerintah memang terbalik. Tidak melihat ini peluang , tunggu bubar dulu konvensionalnya kali  ha ha ha.

Dulu Anda pernah mengatakan dan sangat terobsesi menjadikan Indonesia sebagai kiblat dunia untuk asuransi syariah. Apa yang melatar belakangi pemikiran tersebut?

Sebenarnya itu bukan kata saya, tapi  pendapat beberapa kawan direksi-direksi asuransi syariah dari luar negeri ketika kami ada Insurance Congress di Bali beberapa tahun Silam.

Mereka bilang pak Syakir dalam waktu 10 tahun ke depan Indonesia justru yang akan menjadi kiblat asuransi syariah di dunia, bukan Malaysia dan bukan juga Jeddah. Itu yang ngomong CEO Takaful Ikhlash Malaysia dan CEO Takaful Jeddah. Di situ ada juga dari Takaful Singapura. Mereka bilang, sambil becanda, … “tapi kalau Indonesia tak berkenan tak apalah kami saja Singapura yang jadi kiblat katanya,  nanti kami bikinkan banyak-banyak cabang  Takaful Singapura di Indonesia”.  Gila gak?  Ini tantangan buat bangsa Indonesia. Karena itu, saya pun terobsesi untuk menjadikan Indonesia sebagai kiblatnya dunia untuk asuransi syariah.

Apa saja potensi yang bisa mendorong Indonesia menjadi kiblat sebagai asuransi syariah dunia?

Pertama, kita adalah negara terbesar berpenduduk muslim di dunia. Sedangkan konsep syariah seperti mudharabah (bagi hasil) atau di pedesaan dikenal dengan maro, matelu, itu kan konsepnya rakyat, petani, dan peternak asli Indonesia. Dengan regulasi yang cukup, sosialisasi yang memadai, keberpihakan dari pemerintah dan DPR, konsep syariah akan berkembang pesat.

Kedua, saat ini dengan tingkat income per kapita yang ada, penduduk Indonesia baru sekitar 12 persen yang berasuransi. Artinya, peluang pasarnya masih sangat besar ke depan. Anda bayangkan jika produk asuransi syariah dibikin lebih customized, berdasarkan kebutuhan masyarakat, saya yakin asuransi syariah akan meningkat dengan pesat bersamaan dengan semakin naiknya income per kapita.

Ketiga, saat ini sebetulnya premi asuransi (konvensional dan syariah) cukup besar tetapi yang menikmati adalah reasuransi luar negeri. Karena kapasitas asuransi dan reasuransi di Indonesia masih sangat kecil, sehingga premi asuransi general insurance  seperti oil & gas, mungkin sampai 60-70 persen  mengalir ke luar negeri melalui instrumen reasuransi. Jadi usul saya kalau reasuransi syariah disatukan dan di perbesar modalnya oleh pemerintah, maka sebagian dari yang 70 persen capital fly tadi, bisa ditahan di Indonesia.

Apa saja kendala yang dihadapi asuransi syariah ?

Kendala utama aspek permodalan. Umumnya asuransi syariah yang berbentuk divisi yang berdiri di awal-awal modalnya sangat kecil. Bayangkan mau bisa cover apa divisi/cabang syariah dengan modal awal cuma 2,5 milyar. Mau bisa promosi apa asuransi yang modalnya “dengkul”, maaf. Itu yang membuat susah bersaing dengan konvensional.

Ada perusahaan asuransi yang preminya saja dalam satu tahun 1 triliun, tapi bikin divisi syariah hanya memberi modal 5-10 milyar. Itu kan gak serius namanya. Mereka buka divisi syariah, hanya mau menampung nasabah yang sudah ada, jangan sampai lari, jadi dibuatkan  penampungnya, yaitu cabang syariah. Tapi kaitan masalah modal ini,  sudah diatur cukup baik oleh depkeu. Jadi saya juga secara jujur bilang kebijakan ini sejak 2008 sudah ada regulasi yang baik dari  Bapepam LK.

Secara umum, masyarakat kita belum begitu ‘melek’ tentang asuransi. Bahkan, pandangan yang didapat, justru menempatkan asuransi sebagai pihak yang kurang diminati. Mengapa demikian?

Sekarang ini bersamaan dengan pesatnya teknologi informasi dan meningkatnya kebutuhan hidup, pemahaman dan kebutuhan masyarakat terhadap asuransi sudah semakin baik. Persoalannya sekarang adalah kemampuan untuk menyisihkan penghasilan yang masih pas-pasan untuk berasuransi.

Saya kira juga citra negatif pelaku industri asuransi khususnya ‘oknum sales’, sudah semakin kecil. Mereka mulai bekerja secara profesional,  terutama dengan masuknya asuransi tingkat dunia seperti Allianz, Prudencial, Manulife, AIG, dan lain lain, citra pelayanan asuransi sudah semakin baik.

Perusahaan-perusahaan lokal juga sudah cukup banyak yang bisa bersaing secara profesional dengan yang besar-besar tadi.

Praktek marketing  menyimpang, seperti yang saya sebut dalam buku “Marketing Bahlul” saya,  sesungguhnya tidak didominasi oleh industri asuransi lagi. Prilaku-prilaku menyimpang itu, baik dari segi moral maupun riswah (suap), saat ini justru banyak terjadi di bidang bisnis lainnya.

Ada kesan di masyarakat, industri asuransi hanya cocok buat masyarakat kelas menengah keatas. Sementara untuk masyarakat kelas bawah tidak. Bagaimana menurut pandangan Islam hakikat dan tujuan asuransi sesungguhnya?

Yah memang masih ada kesan seperti itu, tapi ini lambat laun bersamaan dengan sosialisasi tentang fungsi asuransi akan semakin bergeser. Di atas tadi sudah saya jelaskan betapa banyak fungsi asuransi seperti kesehatan, kecelakaan, kematian, yang  justru untuk masyarakat kelas bawah. Asuransi sosial seperti jamsostek, astek, askes, asabri, itu kan asuransi untuk menengah kebawah semua. Cuma masyarakat gak tau kalau itu sebetulnya menggunakan mekanisme asuransi.

Produk lain, yang  perlu menjadi perhatian industri asuransi sekarang adalah micro insurance. Ini pangsa pasarnya sangat sangat besar dan sama sekali belum tergarap, yaitu asuransi yang ditujukan untuk tukang cendol, tukang combro, pedagang kaki lima, sektor informal, petani, pedagang kecil, dan lain lain. Produk ini sedang dikembangkan teman-teman di beberapa kabupaten di Jawa Barat, namanya Asuransi Takmin. Ini produk inovatif untuk masyarakat tingkat bawah.

Apa hal yang paling pokok perbedaan asuransi syariah dan asuransi konvensional?

Banyak yang bilang produk syariah itu sama saja dengan produk konvensional. Termasuk asuransi syariah. Sayang bilang pandangan itu keliru. Pak Kyai Ma’ruf Amin, Ketua DSN MUI, malah pernah bilang … “bedanya sama dengan antara langit ke tujuh dengan sumur bor”. Tentu beliau bercanda. Tapi saya sebagai praktisi syariah membetulkan statemen itu, karena secara operasional memang berbeda.

Perbedaan prosesnya dalam rangka menghilangkan hal-hal terlarang oleh syariah dalam praktek asuransi konvensional. Jadi dalam istilah santri menghilangkan illat-nya atau alasannya  mengapa konvensional itu diharamkan.

Jika dilihat dalam aspek syariah, perbedaannya karena dalam asuransi syariah tidak ada lagi hal-hal yang terlarang seperti gharar, maisyir, dan riba.  Dari segi ekonomi, produk-produk asuransi syariah jauh lebih unggul dibanding konvensional.

Saat ini asuransi konvensional menerapkan istilah ‘NO CLAIM BONUS’ sebagai ‘lawan’ dari konsep yang dijalankan asuransi syariah dengan sistem bagi hasil, dimana peserta bisa menikmati “bagi hasil” diakhir masa kontrak. Menurut Anda?

Yah no claim bonus di konvensional sering dijadikan “senjata” untuk melawan asuransi syariah di market. Tapi sebetulnya no claim bonus itu ‘serupa tapi tak sama’ dengan mudharabah (bagi hasil) di syariah. Memang sama-sama memberikan  kembalian alias bagi hasil jikalau tidak ada klaim atau masih ada selisih antara premi dan klaim secara keseluruhan di akhir masa kontrak. Sampai disitu sama. Tapi no claim bonus secara syariah tidak halal karena sistemnya adalah konvensional dimana didalamnya masih ada gharar, maisyir dan riba. Sedangkan yang ‘bagi hasil’ karena sistemnya pake syariah maka dia halal.

Kalau saya boleh kasih ilustrasi, kira-kira yang no claim bonus itu identik dengan ayam goreng yang dipelintir (tidak di potong pake bismillah) maka haram, sedangkan ‘bagi hasil’ di syariah adalah ayam goreng yang dipotong pake bismillah maka halal. Rasanya memang bisa sama, tapi prosesnya yang berbeda

Marketing Syariah Menyejukan Kita semua

Marketing sering kali dipersepsikan sebagai upaya untuk memasarkan barang dan jasa dengan berbagai cara sampai barang dan jasa tersebut terjual karena dalam prakteknya, para pemasar telah melupakan etika dan nilai-nilai dasar dari marketing itu sendiri, seperti diungkap secara jenaka oleh pakar Marketing Syariah kita, Syakir Sula , dalam bukunya “Marketing Bahlul ”.

Tidaklah berlebihan bilamana dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW tak sekadar mempraktikkan perdagangan yang adil dan jujur, namun juga meletakkan prinsip-prinsip dasar pemasaran dalam berbisnis. Beliau tidak pernah membiarkan pelanggannya mengeluh dan selalu menepati janji, misalnya, dengan mengantarkan barang-barang yang kualitasnya telah disepakati secara tepat waktu. Tak pernah ada pertengkaran antara beliau dengan para pelanggannya seperti yang umum terjadi di pasar saat itu.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan Abdullah ibn Abi Hamzah yang melakukan jual beli dengan Rasulullah namun sebelum sempat menyelesaikan transaksinya tiba-tiba harus segera pergi. Ia berjanji akan kembali dan menetapkan batas waktunya. Namun, ia lupa akan janjinya dan baru ingat pada hari ketiga. Saat ia kembali ke tempat yang sama, ia menemukan Rasulullah SAW masih berdiri di sana. Beliau tidak menunjukkan muka marah dan tidak mengatakan sesuatu, kecuali bahwa ia sudah menunggu di tempat itu selama tiga hari!

Beliau sangat menekankan pentingnya kejujuran dan menghindari kecurangan dalam setiap upaya memasarkan barang dan jasa. Kondisi dan kualitas barang dan jasa tersebut harus secara jelas disampaikan kepada calon pembeli. Betapa pentingnya kejujuran tersebut nampak dalam sabdanya bahwa pada Hari Kebangkitan Allah tidak akan berbicara, melihat, mensucikan orang yang yang menghasilkan penjualan yang cepat dari suatu barang dengan sumpah palsu.

Alangkah indah dan menyejukkannya jika perniagaan dan upaya pemasaran didasarkan pada prinsip-prinsip Islam tersebut. Orang tidak semata-mata menghitung untung atau rugi, tidak terpengaruh lagi dengan hal yang bersifat duniawi, tetapi panggilan jiwalah yang mendorongnya, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai spiritual.

Pemasar Syariah juga bukan monopoli muslim tetapi terbuka untuk semua umat sebagaimana Islam adalah pembawa rahmat bagi seluruh umat manusia dan alam sekitar. Hal ini dibuktikan oleh Beriman Sinaga, Marketing Executive Allianz Life Indonesia, seorang non muslim yang meraih penghargaan sebagai “Top Syariah 2008”.

Sharing edisi ini mengajak Anda untuk melihat bahwa prinsip syariah dalam perniagaan, khususnya pada ceruk marketing, bukan suatu yang “di awang-awang” dan tidak aplikatif. Kami menyodorkan serangkaian contoh: dalam barisan perusahaan ada Internusa Cargo, Poliyama Communication, dan PT Red Crispy International, misalnya, yang bisnisnya menukik naik justru setelah menerapkan prinsip marketing syariah.

Ada juga Eka Shanty yang berhasil menyelamatkan induk perusahaannya yang nyaris bangkrut dengan banting setir menerapkan prinsip syariah. Sharing juga mengajak Anda berkenalan dengan Beriman Sinaga.

Intinya, marketing syariah adalah marketing dengan nilai atau prinsip-prinsip yang bersifat universal, melintasi aneka sekat wilayah, jenis usaha, bahkan agama. Seperti dikatakan pakar pemasaran Hermawan Kartajaya, Marketing syariah itu sifatnya spiritual, universal, dan realistis. Jadi bisa dilakukan oleh siapapun dan dimanapun. Termasuk Anda

Peluang Asuransi Syariah Masih Besar

JAKARTA–Perbankan syariah masih menjadi hal yang dominan di Indonesia.Hal ini karena permintaan terhadap perbankan syarih besar dan didukung oleh suplai yang besar. ”Semakin besar perbankan syariah maka asuransi syariah juga akan semakin besar,” kata Kepala Departemen Syariah PT Bumiputera Muda 1967 Asuransi Umum, Fahmi Basyah, saat Seminar Asuransi Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu (25/11).

Dijelaskan Fahmi bahwa perbankan syariah masih menguasai lebih dari 90% pasar syariah di Indonesia. Sedangkan asuransi syariah baru memiliki market share dibawah 5%. Sementara dalam data Departemen Keuangan periode 2007-2008,pangsa pasar asuransi syariah di Indonesia relatif kecil dibanding asuransi konvensional. Untuk asuransi jiwa syariah besar aset di 2008 hanya 1,18% senilai Rp 1,2 triliun sedangkan sisanya asuransi jiwa non syariah 98,82%. Untuk asuransi kerugian syariah di 2008 hanya beraset 1,99% senilai Rp 683 miliar dari jumlah total aset asuransi kerugian.

Melihat data tersebut Fahmi menjelaskan masih rendahnya market share asuransi syariah ini justru peluang bagi pengembangannya karena pasar belum tergarap optimal. Dan di sisi lain Indonesia adalah salah satu dari lima negara pasar potensial asuransi syariah. ”Sampai Maret 2009 data Swiss Re mengatakan penetrasi asuransi syariah lebih dari 2% dibanding GDP per capitanya hanya 104 dolar AS,” kata dia.

Dibanding tiga negara lainnya meliputi Arab Saudi, Bahrain, dan UAE yang merupakan pasar potensial asuransi syariah dengan GDP per capitanya lebih tinggi, kata Fahmi, Indonesia menunjukkan penetrasi yang baik. Peluang pengembangan asuransi syariah,lanjut Fahmi, dalam enam tahun mendatang diprediksi bisa lebih baik. ”Meskipun kemungkinan masih dibawah 10% tapi potensinya bisa dikembangkan pada tahun 2010,” kata dia.

Tapi peluang ini harus juga didukung diantarnya oleh regulasi, standarisasi dan kesiapan untuk bersaing dengan pasar. ”Bisnis asuransi syariah harus berani untuk melakukan penanaman produk kepada pasar dengan dana yang tidak kecil,” kata Kepala Syariah PT AIA Finansial, Srikandi Utami di acara sama.

Dan bisnis asuransi pun jelas Srikandi harus bisa bermain di dua kelompok pasar nasabah meliputi pasar nasabah realistis yang porsinya 61% dari nasabah asuransi dan pasar loyalis asuransi konvensional yang porsinya 24%. ”Karena jika hanya membidik pasar loyalis syariah perkembangannya akan lambat karena hany 16%,” tutur dia.

Jembatani Kebutuhan SDM Asuransi Syariah dengan Lab Syariah

JAKARTA–Problema link and match antara kebutuhan industri dan suplai SDM dari kampus dalam industri keuangan syariah tak hanya diperlukan di perbankan syariah, tetapi juga asuransi syariah. Untuk menjembatani kebutuhan tersebut setidaknya di ranah kampus dibentuk laboratorium asuransi syariah dengan aplikasi sama seperti di industri.

Praktisi asuransi syariah, Fahmi Basyah mengungkapkan apa yang dipelajari di kampus saat ini masih terdapat kesenjangan dengan industri. “Ada yang match tapi masih ada yang kurang dengan apa yang dibutuhkan industri. Contoh kita butuh SDM asuransi untuk create produk asuransi syariah dan memiliki kompetensi keuangan asuransi syariah,” kata Fahmi, Jumat (13/11).

Karenanya, tambah dia, untuk menjembatani kesenjangan hal itu setidaknya kampus membuat program simulasi seolah-olah di industri. “Jadi nantinya saat lulus mereka siap pakai dan industri juga terbantu. Untuk itu salah satu caranya adalah dengan seperti membuat laboratorium asuransi syariah, membenahi kurikulum, dan ada program simulasi,” jelas Fahmi.

Ia menambahkan saat ini pilot project laboratorium asuransi syariah sedang dikembangkan, tetapi belum ada kesepakatan dengan salah satu kampus dan masih dalam tahap penjajakan dan sharing. Dengan adanya sarana yang memfasilitasi antara industri dan kampus, ungkap Fahmi, industri pun dapat menyerap output lulusan-lulusan SDM dari perguruan tinggi. Ia pun menekankan perlunya kerja sama industri asuransi syariah dengan perguruan tinggi. “Kalau mau mempercepat industri asuransi syariah perlu ada kerja sama dengan kampus yang bersinergi dengan kebutuhan industri, sehingga lulusan SDM syariah ini bisa diserap,” kata Fahmi.

Pasalnya kini industri banyak yang merekrut SDM baru dan akhirnya harus memulai pendidikan asuransi syariah dari nol. Hal tersebut pun membutuhkan waktu yang cukup lama. Padahal, menurut Fahmi, dengan adanya sinergi dengan kampus maka akan dapat menciptakan SDM siap pakai dan dengan demikian mempercepat industri asuransi syariah. Selain itu, lanjutnya, pihak kampus pun dapat membuat riset ilmiah, dimana hasilnya juga akan berguna bagi industri.

Standarisasi Polis Asuransi Syariah Rampung Akhir Tahun

By Republika Newsroom

JAKARTA–Asuransi syariah beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Ciri khas tersebut membuatnya berbeda dan dianggap menjadi alternatif dari asuransi konvensional. Karenanya asuransi syariah pun memerlukan standarisasi polis berbeda dari konvensional.

Praktisi asuransi syariah, Fahmi Basyah, mengatakan selama ini perusahaan asuransi syariah masih menggunakan standar yang berlaku di asuransi konvensional contohnya untuk asuransi kendaraan bermotor dan kebakaran.

“Selama ini asuransi syariah belum punya standarisasi, padahal sudah pasti beda standarisasi polisnya karena dari terminologinya saja sudah beda, dari istilah tertanggung penanggung dan peserta,” kata Fahmi kepada Republika, Rabu (7/10).

Dalam asuransi konvensional orang yang membeli produk asuransi disebut tertanggung dan perusahaan asuransi disebut penanggung. Dalam asuransi konvensional terjadi transfer risiko. Sementara di asuransi syariah memiliki prinsip tolong menolong antar peserta dan perusahaan asuransi berperan sebagai pemegang amanah.

Oleh Karena itu, lanjutnya, Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) membentuk tim untuk membantu pembuatan standar polis asuransi syariah. Fahmi yang menjadi salah satu anggota tim standarisasi polis menargetkan akhir tahun ini standarisasi polis bisa selesai. Tim tersebut diharapkan menghasilkan rekomendasi bagaimana standarisasi polis asuransi syariah.

Ia menambahkan saat ini adalah momen tepat bagi AASI sebagai representasi industri yang mendapat amanah membuat rekomendasi. Nanti, rekomendasi, kata Fahmi, dapat dijadikan standar sebagaimana yang dibuat Asosiasi Asuransi Umum Indonesia.

“Selama ini kita memakai versi konvensional boleh dikatakan darurat, tapi sampai kapan mau dikatakan darurat? Sehingga sekarang adalah waktu tepat, karena proses standarisasi polis ini sudah dimulai sejak periode kepengurusan AASI sebelumnya,” tandas Fahmi.

Proses standarisasi polis sempat tertunda karena prioritas mengejar pembuatan PSAK 108. PSAK 108 saat ini telah selesai dan tinggal diimplementasikan pelaku industri. gie/itz